Menggugat Otoritas Perjanjian Baru (PB)

                             Oleh: Sang Misionaris.

Jika anda betul-betul mempelajari dan memahami proses kodifikasi Alquran dari mulai zaman Nabi Muhammad saw hingga saat ini, teks asli dan bahasa asli yang terdapat pada Al-Qur'an masih tetap digunakan dan masih sama isinya. Dengan masih digunakannya teks asli dan bahasa asli pada Al-Qur'an, hal itu dilakukan untuk mencegah adanya penyisipan dan penyimpangan atas Firman Allah , baik dalam aspek penerjemahan, penafsiran, serta pengamalan. Metode yang digunakan oleh Nabi dalam mentransformasi wahyu kepada para sahabat, berupa hapalan dan murajaah. Yang ternyata, metode tersebut belum pernah dilakukan oleh bangsa dan agama manapun. Tapi lain halnya, jika kita meninjau Alkitab. Karena pada Alkitab, tidak adanya teks dan bahasa asli, yang hal tersebut telah menuai perbedaan pendapat di kalangan sarjana Kristen, seperti halnya tentang perbedaan antara “arti asli ayat” dengan “makna ayat”, yang hal tersebut menyangkut tentang penerapan antara rekontruksi historis, deskriptif dan objektif, dengan penafsiran teologis dan normatif. Implikasi atas terjadinya silang pendapat tersebut, bisa di lihat seperti terjadi diantara para sarjana teologi, seperti Childs dengan Stendahl. Misalnya, B. S. Childs (3) mengajukan keberatannya terhadap pendekatan historis dan deskriptif yang diterapkan pada Alkitab. Karena menurutnya, hal tersebut dianggap membatasi ruang dalam menafsirkan dan memahami ayat-ayat Alkitab. Sedangkan menurut Stendahl (4), mengakui bahwa tugas deskriptif mampu menguraikan ayat-ayat Alkitab secara lebih luas daripada apa yang terkandung di dalam ayat-ayat itu dalam maksud dan fungsi ayat-ayat itu sepanjang zaman.
Dengan tidak adanya naskah asli pada Alkitab, yang tentunya tidak bisa di ketahuinya bahasa asli yang digunakan, bahkan hal tersebut di perparah dengan tidak adanya Injil Yesus (5). Hal tersebut telah mengakibatkan banyaknya peredaran kitab di tengah masyarakat dan bahkan saling mengklaim, bahwa kitab yang terdapat pada mereka, itu adalah ajaran yang dibawa oleh Yesus. Bahkan, Paulus sendiri yang tidak pernah bertatap muka langsung dengan Yesus, namun mengklaim bahwa ajaran yang dibawanya itu berasal dari Yesus, sehingga surat-surat yang di peruntukkan untuk berbagai daerah pun, diyakini Kristen sebagai Firman Tuhan. Kondisi buruk tersebut telah mengakibatkan berbagai tudingan antara satu sama lain, sebagaimana yang terjadi pada Marcion yang di anggap sebagai orang yang sesat karena penolakannya terhadap berbagai Injil. Berkaitan tentang kondisi tersebut, R. M. Grant menuturkan :
“Suatu krisis penafsiran (Injil) yang sebenarnya telah terjadi pada gereja Roma sekitar tahun 137 Masehi. Ketika Marcion datang dari Pantus melalui Laut Hitam dan terus mendesak bahwa Injil yang asli tidak bertentangan dengan dengan PL. Tetapi juga menekankan bahwa terdapat satu Injil yang asli, pertama di sampaikan secara lisan kemudian di tulis, dan secara menyeluruh disisipi oleh orang-orang yang fanatik terhadap Yudaisme. Dalam pandangan Marcion, Yesus telah memaklumkan sebuah Injil yang sama sekali baru yang telah di rusak oleh para murid Yahudi, sebab mereka adalah budak Yahudi.” (6)

Dalam sorotan ini, sama sekali tidak ada keraguan untuk menyatakan bahwa Yesus telah memberitakan Injil, tetapi para pengikutnya telah gagal mempertahankannya. Sebagai gambaran atas kondisi tersebut, hal yang wajar jika Washington Gladden menuturkan pernyataannya sebagai berikut : “Tidak seorang pun di bumi yang tahu, atau akan tahu, apa kata-kata sebenarnya yang diucapkan oleh Yesus dalam khotbahnya di atas bukit, dalam pembicaraannya di pinggir kolam air, dalam pesan-pesan terakhirnya kepada para muridnya (7) “. Dengan melihat realitas di atas, suatu hal yang wajar pula jika seorang Muslim mempunyai keyakinan, bahwa kitab Injil dan kitab lainnya yang diyakini oleh Kristen, itu bukanlah Firman Tuhan. Melainkan, kitab-kitab yang yang di tulis oleh orang lain yang bukan berasal dari murid Yesus.


Perjanjian Baru Pada Zaman Bapak Gereja.
Hal yang perlu diyakini adalah Alkitab terdiri atas sekumpulan buku yang masing-masing ditulis pada zaman yang berbeda-beda dan ditulis oleh orang yang berbeda pula. Selain itu, fakta lain yang harus dipahami ialah tidak ada satu pun dari manuskrip asli (autograf) yang masih ada sampai saat ini (8). Artinya, Alkitab yang diimani oleh Kristen saat ini, itu semua berasal dari naskah salinan yang di produksi tanpa adanya teks primer yang menjadi acuan dalam penterjemahannya.

Saat naskah Perjanjian Lama (PL) ditulis dalam bahasa Ibrani (ada beberapa ayat yang di dalamnya menggunakan bahasa Aramaik), naskah PB telah diyakini dan disepakati secara umum oleh Kristen , bahwa semuanya ditulis dalam bahasan Yunani (9). Berkaitan tentang bahasa yang digunakan dalam penulisan kitab PB, Irving Jensen mengungkapkan, bahwa ke 27 kitab PB ditulis dalam kurun waktu 50 tahun, antara tahun 45 sampai 95 Masehi. Menurutnya, hampir semua kata dan bahasa ditulis dalam bahasa Yunani Koine. Bahasa ini adalah logat asli para pedagang dari abad pertama di dunia Mediterania (10). Ternyata, tidak semua ahli memiliki pendapat yang sama mengenai bentuk penulisan dari kitab PB. Sebagai contoh, salah satu Bapak Gereja yang bernama Eusebius dari Kaisarea, di dalam tulisannya mengenai Papias. Ia mengatakan, “Matius menyusun perkataan-perkataan dalam bahasa Ibrani, dan semuanya menterjemahkannya sebisa mereka (11).

Selain tidak adanya naskah primer yang menjadi acuan pokok dalam penyalinan, ditambah tidak adanya metodologi yang bersifat sistematis yang menjadi standar penetapan penulisan Injil dan kitab lainnya yang terdapat pada PB, justru kondisi tersebut mengakibatkan otoritas PB yang di yakini oleh Kristen sebagai Firman Tuhan, menjadi terpuruk. Hal tersebut diisyaratkan dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan Bapak Gereja dalam menentukan kitab-kitab mana saja yang kitab tersebut diyakini telah di inspirasi  oleh Roh Kudus, seperti :

1.) Ignatius dari Antiokhia, hanya menerima dan meyakini apa yang terdapat pada : Injil Matius, Injil Lukas, Kisah Para Rasul, Roma, 1Korintus, Efesus, Kolose, dan 1Tesalonika.
2.) Polikarpus : Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Kisah Para Rasul, Roma, 1Korintus, 2Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, 1Tesalonika, 2Tesalonika, 1Timotius, 2Timotius, Ibrani, 1Petrus, 1Yohanes dan 2Yohanes.
3.) Marcion, anak dari Uskup Sinope :  Injil Lukas, Galatia, 1Korintus, 2Korintus, Roma, 1Tesalonika, 2Tesalonika, Efesus (Marcion menyebutnya dengan Laodikia), Kolose, Filemon, Filipi.
4.) Valentinus : Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil Yohanes, Roma, 1Korintus, 2Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1Petrus, 1Yohanes, Wahyu, Injil Kebenaran dan Khotbah Peter.
5.) Justin Martyr : Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil Yohanes, Wahyu.
6.) Irenaeus dari Lyons : Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil Yohanes, Kisah Para Rasul, Roma, 1Korintus, 2Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1Tesalonika, 2Tesalonika, 1Timotius, 2Timotius, Titus, 1Petrus, 1Yohanes, 2Yohanes, Wahyu, 1Clement, Gembala Hermas.
7.) Clement dari Alexandria (Titus Flavius Clemens) : Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil Yohanes, Kisah Para Rasul, Roma, 1Korintus, 2Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1Tesalonika, 2Tesalonika, 1Timotius, 2Timotius, Titus, Ibrani, 1Peter, 1Yohanes, Yudas, Wahyu, Injil Mesir, Injil Ibrani, Tradisi Mathias, Khotbah Petrus, 1Clement, Surat Barnabas, Didache, Gembala Hermas, Wahyu dari Petrus.
8.) Tertullian dari Chartage : Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil Yohanes, Kisah Para Rasul, Roma, 1Korintus, 2Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1Tesalonika, 2Tesalonika, 1Timotius, 2Timotius, Titus, Filemon, Ibrani, 1Peter, 1Yohanes, Yudas, Wahyu, Injil Mesir, Injil Ibrani, 1Petrus, 1Yohanes, Yudas, Wahyu.
9.) Origen : Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil Yohanes, Kisah Para Rasul, Roma, 1Korintus, 2Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1Tesalonika, 2Tesalonika, 1Timotius, 2Timotius, Titus, Filemon, Ibrani, 1Petrus, 1Yohanes, Yudas, Wahyu.
10.) Eusibius : Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil Yohanes, Kisah Para Rasul, Roma, 1Korintus, 2Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1Tesalonika, 2Tesalonika, 1Timotius, 2Timotius, Titus, Filemon, Ibrani, 1Petrus, 1Yohanes, Wahyu.
11.) Anathasius dari Aleksandria : Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil Yohanes, Kisah Para Rasul, Roma, 1Korintus, 2Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1Tesalonika, 2Tesalonika, 1Timotius, 2Timotius, Titus, Filemon, Ibrani, Yakobus, 1Petrus, 2Petrus, 1Yohanes, 2Yohanes, 3Yohanes, Yudas, Wahyu.
12.) Didimus si Buta : Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil Yohanes, Kisah Para Rasul, Roma, 1Korintus, 2Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1Tesalonika, 2Tesalonika, 1Timotius, 2Timotius, Titus, Ibrani, Yakobus, 1Petrus, 2 Petrus, 1Yohanes, Injil Ibrani, 1Clement, Surat Barnabas, Didache, Gembala Hermas. (12)

Dari uraian diatas, ternyata tidak ada satu pun dari pihak Bapak Gereja yang memiliki kesamaan dengan daftar kitab PB yang diyakini oleh Kristen saat ini, kecuali Anathasius. Padahal saat menyangkut penulisan kitab PB, Kristen meyakini adanya peran Roh Kudus yang diyakini membantu dan memberikan inspirasi kepada para penulis Alkitab. Tetapi pada kenyataannya, peran Roh Kudus terhadap kanonisitas dan ke penulisan PB hanya sebuah ilusi, yang terbukti dengan adanya perbedaan penetapan kitab PB dikalangan Bapak Gereja. Jadi, suatu hal yang lumrah jika pada realitasnya, siapa pun mempertanyakan hal yang fundamental atas peran Roh Kudus (RK) tersebut, seperti : apakah RK saat itu telah memberikan inspirasi terhadap Anathasius yang telah menetapkan kitab kanon pribadinya dan mengabaikan Bapak-bapak Gereja lainnya, sehingga Bapak Gereja yang lainnya bisa dianggap telah melakukan deviasi terhadap kitab-kitab PB ?

Di saat otoritas PB tergoncang dan peran Roh Kudus di pertanyakan, sering kali penulis sendiri mendapatkan argumentasi dari pihak Kristen yang tidak mendasar dalam membuktikan otoritas PB, terlebih saat kondisi seperti di atas pada zaman Bapak Gereja telah dipaparkan. Adapun contoh argumentasi mereka :
“Meskipun diantara Bapak-bapak Gereja telah terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kitab-kitab PB, tetapi pada kenyataannya, ternyata mayoritas Bapak Gereja secara umum telah sepakat tentang adanya kebenaran yang terdapat pada Injil, sebagaimana yang telah diimani Kristen saat ini. Hal tersebut terbukti, dengan adanya keseragaman dari Bapak Gereja dalam memasukkan keempat Injil pada kanon pribadi mereka.”

Justru dengan banyaknya peredaran Injil dan kitab lain di zaman Bapak Gereja, mengimplikasikan bahwa Roh Kudus yang selalu memberikan inspirasi kepada para penulis, ternyata tidak ada pengaruhnya sama sekali atas perannya tersebut. Bagaimana pun Kristen memberikan argumentasi sebagaimana di atas, tetap saja argumentasi tersebut tidak mampu menutupi kenyataan historis tentang banyaknya peredaran Injil dan kitab lainnya di zaman Bapak Gereja. Jadi, siapakah yang layak untuk disalahkan dan di minta pertanggungjawabannya, apakah RK ataukah penulis kitab itu sendiri ?

Tentang kondisi di atas, seorang sarjana Kristen pada abad keempat Masehi yang bernama Fauste, menuturkan sebagai berikut :
“Kitab-kitab yang disusun oleh para penulis Injil ditulis jauh setelah masa murid-murid Yesus oleh beberapa orang yang tidak jelas, yang karena khawatir bahwa dunia tidak akan menghargai hubungan mereka dengan persoalan-persoalan yang bisa jadi mereka tidak tahu, telah menerbitkannya di bawah nama para murid Yesus. Karena penuh dengan kebodohan dam hubungan-hubungan yang kacau, maka tidak ada kesesuaian maupun hubungan diantara kitab-kitab tersebut. Hal ini tidaklah mengherankan, sebab kami sering membuktikan bahwa semua hal itu tidak ditulis oleh Yesus sendiri atau oleh para muridnya, tetapi sebagian besar Injil-injil tersebut didasarkan atas cerita-cerita, laporan, laporan yang tidak jelas, dan dikumpulkan oleh orang-orang yang tidak tahu apa-apa, separuh Yahudi, dengan hanya sedikit kesesuaian diantara kitab-kitab tersebut, yang diterbitkan atas nama para murid Yesus. Dan dengan demikian, berbagai kesalahan dan kebohongan mereka sendiri telah dinisbahkan kepada para murid Yesus.” (13)

Sarjana modern lainnya, seperti halnya Mary Ellan Chase, menyimpulkan :
“Tidak ada satu pun kitab dalam Perjanjian Baru yang ada saat ini sama persis keadaannya ketika kitab ini lepas dari tangan penulis aslinya. Kita tidak boleh lupa bahwa bentuk pasti dan final dari perjanjian baru belum di selesaikan dan diedarkan sebagai sebuah kitab sampai lebih dari tiga abad setelah bagian-bagian pertamanya ditulis oleh Paulus.” (14)

Dengan adanya perbedaan atas keyakinan Bapak Gereja tentang perbedaan kitab kanonik pribadi di kalangan mereka, ditambah tidak adanya metode baku yang diterapkan dalam menjaga validitas PB, dan juga kredibilitas para penulis serta penyebar kitab-kitab Perjanjian Baru tidak bisa kita ketahui, implikasinya berdampak pada Perjanjian Baru yang saat ini menjadi pusat teologis dan dogmatik Kristen, terlihat sangat rapuhnya pegangan Kristen tersebut, sehingga Perjanjian Baru berujung pada konklusinya bahwa kitab yang terdapat pada Perjanjian Baru tidak bisa di nilai sebagai Firman Tuhan.

Bersambung ke menggugat otoritas Perjanjian Baru (PB) bagian 2


Catatan Kaki :
1. Hans von Campenhausen, The Formation of the Christian Canon.
2. Friedrich Baumgartel, The Hermeneutical Problem of the Old Testament.
3. Childs, Interpretation in Faith : The Theological Responsibility of an OT Commentary.
4. Stendahl, The Bible in Modern Scholarship.
5. Matius 4:23, Markus 1:14, Lukas 8:1, Kisah Para Rasul 8:35.
6. R. M. Grant, The Earliest Lives of Yesus.
7. Washington Gladden, Who Wrote the Bible.
8. Michael Keene, Alkitab : Sejarah, Proses Terbentuk, dan Pengaruhnya.
9. Kamus Unger, Bible Dictionary.
10. Irving Jensen, Survey of The New Testament.
11. Paul L. Maier, Eusebius The Church History.
12. Metzger, Bruce M.
The Canon of the New Testament:
Its Origin, Development, and Significance. Dan Schneemelcher, Wilhelm, ed.
New Testament Apocrypha, 6th edition.
13. Dikutip oleh Thomas Paine dalam bukunya “The Age of Reason”.
14. Mary Ellan Chase, The Bible and The Common Reader.

Comments