Mushaf Ubay bin Ka'ab

Oleh: Sang Misionaris

Pendahuluan
Ubay bin Ka’ab bin Qais bin Zaid bin Muawiyah bin ‘Amr al-Anshari an-Najjar, adalah salah seorang sahabat Nabi yang dijuluki sebagai Abul Mundzir dan Abu Thufail. Ubay termasuk orang yang dahulu masuk Islam, dan termasuk pula sebagai kaum anshar. Ia pun termasuk salah seorang yang ikut pula pada perjanjian Aqabah kedua yang sudah mengenal baca tulis pada masa jahiliyah, dan berbagai peperangan telah diikutinya, termasuk perang Badar. Nama Ubay, dicantumkan di antara deretan para sekretaris Nabi saw oleh para ulama sejarah, yaitu Umar bin Syabah,1 Ath-Thabari,2 Ibnu Maskawaih,3 Al-Ya’qubi,4 Al-Jahsyayari,5 Ibnu Atsir,6 Al-Iraqi,7 Al-Mizzi,8 Ibnu Katsir,9 dan lain-lain. Ubay bin Ka’ab adalah orang yang ahli dalam ilmu agama, dan termasuk pula orang yang bagus bacaan Al-Qur’annya. Hal tersebut dibuktikan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amru, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ambillah bacaan Al-Qur'an dari empat orang. Yaitu dari Ibnu Mas'ud, Salim, maula Abu Hudzaifah, Ubay bin Ka'ab dan Mu'adz bin Jabal".10 Berkaitan tentang kapan wafatnya Ubay bin Ka’ab, para ahli sejarah berbeda pendapat. Menurut Ibnu Mu’in, Ubay meninggal pada tahun 20 atau 19 Hijriah. Sedangkan menurut al-Waqidi, Ubay meninggal pada tahun 22 Hijriah. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa ia meninggal pada 30 Hijriah. Dari riwayat lainnya dapat disimpulkan, bahwa Ubay meninggal sebelum peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan pada hari jumat.11

Ubai bin Ka’ab termasuk di antara para sahabat yang telah menyepakati Mushaf Utsmani, dan ia termasuk salah satu di antara para sahabat Nabi yang ikut serta dalam mengumpulkan dan menulis Al-Qur'an pada masa Abu Bakar12 dan juga Utsman bin Affan.  Bahkan, ia pun ikut berpartisipasi dalam proses pendiktean, penulisan, dan pengoreksian.13 Adapun bukti lain tentang adanya kontribusi Ubai dalam hal tersebut, bisa kita perhatikan dari banyaknya jalur sanad bacaan para ahli baca Al-Qur'an yang tujuh. Maka dari itu, kita akan mengetahui bahwa enam orang di antara mereka memiliki jalur sanad yang ternyata tersambung kepada Ubai bin Ka’ab.14 Seperti :

1. Nafi’ mempelajari bacaan Al-Qur'an dari tujuh puluh orang tabi’in. Di antara mereka adalah Sa’id bin al-Musayyab yang mempelajari bacaan Al-Qur’an dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Iyasy bin Abi Rubai’ah al-Makhzumi. Mereka semua, mempelajarinya dari Ubai bin Ka’ab, dan Ubai sendiri menerimanya dari Nabi Muhammad Saw.
2. Abdullah bin Katsir mempelajari bacaan Al-Qur'an dari Abdullah bin Saib, Al-Mujahid bin Jabar al-Makki, Ali Darbas maula Ibnu Abbas. Yang ternyata, Ibnu Abbas dan Ibnu Sa’ib mempelajarinya dari Ubai bin Ka’ab.
3. Abu ‘Amr bin al-’Ala mempelajari bacaan Al-Qur'an dari Abu ‘Aliyah Ar-Rayyahi. Abu ‘Aliyah mempelajarinya dari Ubai bin Ka’ab.
4. Ashim bin Abi an-Nujud mempelajari bacaan Al-Qur'an dari Abu Abdurrahman as-Sullami yang mempelajarinya dari Ubai bin Ka’ab.
5. Jalur sanad bacaan Hamzah Az-Zayyat sama dengan jalur sanad ‘Ashim hingga tersambung kepada Ubai bin Ka’ab.
6. Al-Kasa’i mempelajari bacaan Al-Qur'an dari Hamzah dan Nafi’. Sanad riwayat bacaannya tersambung kepada Ubai melalui Hamzah dan Nafi’.

Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa jalur sanad riwayat para ahli baca Al-Qur'an yang tujuh tersambung kepada Ubai bin Ka’ab. Hal tersebut mengindikasikan, bahwa mushaf yang berada pada tangan kita sekarang ini adalah mushaf yang dirawikan dari jalur sanad Ubai bin Ka’ab, dan jalur-jalur sanad lain yang tersambung kepada Nabi Muhammad saw.


Adanya Berbagai Bacaan Ubai Yang Bercorak Dialek Dan Tafsir

Ada beberapa riwayat bacaan Ubai bin Ka’ab yang bercorak dialek, seperti Tha’i, Hijaz, dan lain-lain. Adanya perbedaan corak tersebut, selalu dijadikan sebagai senjata oleh kalangan orientalis maupun non Muslim, dalam membuktikan adanya perbedaan isi Al-Qur'an. Adapun contoh dari riwayat Ubai yang bercorak dialek, adalah sebagai berikut :
- Ubai bin Ka’ab saat membaca Qs. 2:248 dengan “at-tabuh dengan huruf ha”, yang sesuai dengan dialek anshar.15
- Dalam Qs. 3:120, Ubai membaca : “wa in tashbiru wa tattaqu la yadhurrukum kaiduhum” dengan idgham, sesuai dengan dialek Hijaz.16
- Ubai bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ibnu Zubbair membaca Qs. 6:138 : “hartsun hirjun”, sedangkan masyarakat umum membacanya dengan “hijrun”.17
- Ubai bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud membaca Qs. 100:9 dengan huruf ha pada “buhtsira”, sedangkan pada masyarakat umum menggunakan ‘ain pada “bu’tsira”.18 Dan membaca Qs. 108:1 pada “inna anthainaka” dengan huruf nun sebagai ganti ain.19

Selain bacaan Ubai bin Ka’ab yang bercorak dialek sebagaimana di atas, ada pula bacaan Ubai yang bercorak tafsir. Yang dalam hal ini, dikategorikan dalam dua bentuk :

Pertama. Pada bentuk pertama ini pada umumnya adalah kata-kata sinonim yang lebih tepat untuk dikatakan tafsir. Mengenai faktor-faktor yang menimbulkan bacaan semacam ini, telah penulis kemukakan ketika kita membahas mushaf Mas'ud di artikel ini.
Kedua. Bentuk kedua ini pada umumnya adalah berupa tambahan-tambahan penjelasan. Adapun contohnya adalah sebagai berikut :
- Ubai dan Ibnu Mas’ud membaca Qs. 2:127 seperti : “waidzyarfa’u ibrahim al-qawaida min al-baiti wa isma’il -- yaqulani-- rabbana”, dengan menambahkan kata “yaqulani”.20
- Ubai, Ibnu ‘Abbas, dan Ibnu Mas’ud membaca Qs. 4:24 seperti : “fama istamta’tum bihi minhumma --ila ajalin musamma-- faatuhunna”, dengan menambahkan redaksi “ila ajalin musamma”.21
- Ubai membaca Qs. 20:15 seperti : “Inna as-sa’ata atiyatun akadu ukhfiha --min nafsi fakaifa uzhhirukum ‘alaiha-- dengan menambahkan redaksi “min nafsi fakaifa uzhhirukum ‘alaiha”.22


Teks Yang Dianggap Sebagai Bagian Dari Al-Qur’an

Adanya riwayat yang jumlahnya minim ini telah menimbulkan masalah yang cukup pelik dalam sejarah Al-Qur'an. Karena ada riwayat yang dengan sengaja dieksploitasi oleh kelompok Syiah dalam mengokohkan dakwaan-dakwaan mereka. Dan riwayat semacam ini pun, digunakan pula oleh kalangan orientalis sebagai sarana dalam menanamkan bibit-bibit keraguan tentang keabsahan Al-Qur'an. Seperti :

1. Dalam Qs. 56:10, Ubai bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud membaca : “Wa as-sabiquna bi al-imani bi an-nabiyyi fahum ‘aliyyun wa dzurriyyatuhu al-ladzina ishthafahumullahu min ashhabihi wa ja’alahum al mawaliya ‘ala ghairihim ulaika humulfa’izuna alladzina yaritsuna alfirdausa hum fiha khaliduna”.23 (Orang-orang yang paling dahulu beriman kepada Nabi adalah Ali dan keturunannya yang telah dipilih oleh Allah di antara sahabat-sahabatnya. Allah menjadikan mereka kekasih atas selain mereka. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan keberuntungan dan yang akan menerima surga Firdaus. Mereka kekal untuk selama-lamanya di dalam surga tersebut).

2. Diriwayatkan dari ‘Ashim dari Zir bin Hubaisy dari Ubay, ia berkata : “ Nabi pernah mengatakan kepada saya, “Sesungguhnya Allah memerintahkan saya untuk membacakan Al-Qur'an untuk anda”. Kemudian Nabi membaca “Lam yakun al-ladzina kafaru...”24 Beliau juga membaca ayat dalam surat tersebut, “wa lau anna ibna adama sa’ala wadiyan fa u’thiyahu la sa’ala tsaniyan, fa u’thyahu la sa’ala tsalitsan, wala yamla’u jaufubni adama illatturab, wayatubullahu ala man tab, wa dzalikaddinu ‘indallahilhanifiyyati, ghairilmusyrikati, walalyaudiyyati, walannashraniyyati, wa mayya’al jhairan falayyakfuruh”.25 (Seandainya anak Adam meminta sebuah lembah dan Aku berikan kepadanya pasti ia akan meminta untuk yang kedua. Jika Aku berikan kepadanya permintaan yang kedua, pasti ia akan meminta untuk yang ketiga kalinya. Perut anak Adam tidak akan pernah penuh kecuali dengan tanah. Semoga Allah mengampuni orang-orang yang bertaubat. Demikianlah agama yang lurus di sisi Allah, bukan kemusyrikan, agama Yahudi dan agama Nashrani. Barangsiapa yang melakukan kebaikan, pasti ia akan mendapatkan balasannya).

3. Dalam Al-Itqan, as-Suyuti menyebutkan sebuah riwayat yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abdurrahman dari ayahnya, ia berkata : Dalam mushaf Ibnu ‘Abbas terdapat bacaan Ubai bin Ka’ab dan Abu Musa : “Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma inna nasta’inuka wa nastahdika wa nastaghfiruka wa natatsanna ‘alaikalkhaira wa la nakfuruka wa nakhlu’u wa natruku man yafjuruka”. (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasing lagi Maha Penyayang. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan, petunjuk, mohon ampun, memuji kebaikan kepada-Mu, dan tidak mengingkari-Mu. Kami menghindar dan meninggalkan orang yang mendurhakai-Mu). Di dalam mushaf Ibnu ‘Abbas tersebut terdapat juga bacaan : “Allahumma iyyaka na’budu, wa laka nushalli wa nasjudu, wa ilaika nas’a wa nahfadu, wa nakhsya ‘adzabak wa narju rahmataka, inna ‘adzabaka bilkuffaari mulhiqun.26 (Ya Allah, hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami shalat dan sujud, hanya kepada-Mu kami berupaya dan mendekat, dan kami takut terhadap siksa-Mu, kami sangat mengharapkan rahmat-Mu. Sesungguhnya siksa-Mu pasti ditimpakan kepada orang-orang kafir).

Riwayat pertama, adalah riwayat palsu yang dinisbatkan kepada Ubai bin Ka’ab. Jika riwayat tersebut shahih, tentunya hal tersebut akan ada pada mushaf Ali bin Abi Thalib, terlebih Ali sendiri ikut dalam proses pengumpulan Al-Qur’an. Selain itu, jika riwayat pertama tersebut benar, niscaya akan tersebar luas dan diketahui oleh para sahabat lainnya. Adapun riwayat kedua, itu shahih.27 Namun, kata Yahudi, Nashrani dan hanafiyah bukanlah kata-kata yang dipakai oleh Al-Qur’an, karena kata tersebut biasa digunakan dalam hadits.28


  1. Mengenai riwayat yang ketiga, dikatakan sebagai surat al-khal’u dan al-hafdu. Dalam al-Itqan, as-Suyuti menyebutkan bahwasannya ada tiga sahabat yang meriwayatkan dua surat tersebut dalam mushaf Ubai bin Ka’ab. Mereka itu adalah Ibnu Abbas, Abu Musa, dan Ubai bin Ka’ab. Dan riwayat ibu juga diriwayatkan dari jalur sanad Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khathab. Namun menurut penulis, bahwa doa tersebut bukanlah surat atau bagian dari ayat Al-Qur'an. Penolakan penulis bukan tanpa dasar, karena para sahabat sebelumnya sudah membuat persyaratan khusus untuk diterimanya suatu hafalan ataupun yang ditulis untuk dimasukkan kedalam Mushaf Utsmani, yakni bersifat mutawatir dan adanya saksi. Terlebih, doa tersebut derajat haditsnya adalah ahad, disamping tidak adanya para sahabat lain yang meriwayatkan bahwa itu adalah bagian dari Al-Qur'an. Selain itu, riwayat yang menyebutkan bahwa mushaf Ubai mengandung dua surat ekstra adalah riwayat palsu. Karena riwayat tersebut bersumber dari Hammad ibn Salama. Hammad meninggal pada tahun 167 Hijriah, sedangkan Ubai meninggal sebelum terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan seperti yang sudah penulis sampaikan di atas. Jadi, bisa kita simpulkan antara Hammad dengan Ubai terdapat perbedaan waktu sekitar dua sampai tiga generasi, hal tersebut mengimplikasikan bahwa Hammad tidak mungkin meriwayatkan secara langsung dari Ubai.29


Kesimpulan
Sebenarnya, mushaf Ubai bin Ka’ab dengan mushaf para sahabat lainnya, tidak ada perbedaan yang signifikan, kecuali doa yang dianggap sebagai dua surat yang dituding oleh pihak orientalis sebagai bagian dari Al-Qur'an. Padahal, dua surat yang bersumber dari al-Itqan tersebut, sumber periwayatan di dalamnya mengalami permasalahan yang cukup serius, karena adanya perbedaan generasi yang jauh antara Hammad dengan Ubai, yang hal tersebut telah diabaikan oleh orientalis. Dalam jalur periwayatan, tidak saja redaksi yang perlu diperhatikan, penyampai informasi (perawi), kredibilitas perawi dan masa hidupnya pun diperhatikan pula oleh umat Islam. Hal itulah yang telah diabaikan oleh para orientalis ketika mereka melakukan pengkajian secara langsung literatur Islam. Namun, kebenaran tetaplah harus disampaikan dalam meluruskan sejarah yang telah sengaja di bengkokkan oleh kalangan orientalis, yang hal tersebut selalu saja dihembuskan, baik oleh kalangan liberal maupun Kristen.



Catatan Kaki :
1.) Al-Mishbahul Mudhi’.
2.) Tarikh Ath-Thabari.
3.) Tajarubul Umam.
4.) Tarikh al-Ya’qubi.
5.) Al-Wuzara’ wal Kuttab.
6.) Usudul Ghabah.
7.) Syarh alfiyah al-Iraqi.
8.) Tahdzibul Kamal.
9.) Al-Bidayah wan Nihayah.
10.) HR. Bukhari dengan hadits no. 3522; HR. Muslim dengan hadits no. 4506; HR. Tirmidzi dengan hadits no. 3746.
11.) Ibnu Hajar, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah.
12.) Al-Mashahif.
13.) Ash-shahibi.
14.) An-Nasyr.
15.) Al-Kirmani, Syawadzu Al-Qira’ati wa Ikhtilaf Al-Mashahif hal. 43, Ibnu Khalawaih, Mukhtashar Al-Badi’ Fi Qira’at Asy-Syawadz hal. 15, Al-Bahr, 2/261, dan Al-Muhtasib, hal. 28.
16.) Al-Bahr, 3/43 dan Al-Kirmani, Syawadzu Al-Qira’ati wa Ikhtilaf Al-Mashahif hal. 53.
17.) Al-Kirmani, Syawadzu Al-Qira’ati wa Ikhtilaf Al-Mashahif hal. 82, Ibnu Khalawaih, Mukhtashar Al-Badi’ Fi Qira’at Asy-Syawadz hal. 17, Al-Bahr, 4/231, dan Al-Muhtasib, hal. 55.
18.) Al-Kirmani, Syawadzu Al-Qira’ati wa Ikhtilaf Al-Mashahif hal. 269, Ibnu Khalawaih, Mukhtashar Al-Badi’ Fi Qira’at Asy-Syawadz hal. 178, Al-Bahr, 8/505.
19.) Al-Kirmani, Syawadzu Al-Qira’ati wa Ikhtilaf Al-Mashahif hal. 271, Ibnu Khalawaih, Mukhtashar Al-Badi’ Fi Qira’at Asy-Syawadz hal. 181, Al-Bahr, 8/519.
20.) Al-Kirmani, Syawadzu Al-Qira’ati wa Ikhtilaf Al-Mashahif hal. 32, Ibnu Khalawaih, Mukhtashar Al-Badi’ Fi Qira’at Asy-Syawadz hal. 10, Al-Bahr, 1/388.
21.) Al-Kirmani, Syawadzu Al-Qira’ati wa Ikhtilaf Al-Mashahif hal. 59, Al-Bahr, 2/218.
22.) Al-Kirmani, Syawadzu Al-Qira’ati wa Ikhtilaf Al-Mashahif hal. 151, Ibnu Khalawaih, Mukhtashar Al-Badi’ Fi Qira’at Asy-Syawadz hal. 87, Al-Bahr, 6/233.
23.) Teks ini disebutkan oleh Arthur Jeffery dalam Mukaddimah Al-Mashahif, hal. 97.
24.) Qs. 98:1.
25.) Al-Kirmani, Syawadzu Al-Qira’ati wa Ikhtilaf Al-Mashahif hal. 268.
26.) Al-itqan 1/65.
27.) Untuk mengetahui redaksi hadits yang serupa, bisa dibaca sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dengan hadits no 5959; Ahmad dengan hadits no. 20258.
28.) Al-Qiraat wa al-Lahjat. Untuk mengetahui contoh hadits yang di maksud, bisa dibaca pada Hr. At-Tirmidzi dengan hadits no. 3833 dan 3726.
29.) Muhammad Mustafa al-A’zami, The History of the Qur’anic Text.

Comments

Post a Comment