Asketisme Dalam Perspektif Kristen

Oleh : Sang Misionaris (SM).


Pendahuluan
    Hidup di dalam biara dan juga selibat, sudah menjadi hal yang umum dilakukan oleh pihak Kristen, hal tersebut dianggap sebagai pola hidup yang mampu mendekati Tuhannya. Selain melakukan cara seperti itu, ada pula yang sampai melakukan perusakan terhadap fisiknya, membatasi diri dalam gerak dan ucap, dan lain-lain. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, kadang kala harus memakan rumput yang ada disekitarnya, atau bahkan menjadi seorang pengemis. Dengan adanya pola hidup aksetisme Kristen seperti itu, tentunya melahirkan pertanyaan yang sangat krusial, apakah yang mereka lakukan tersebut, benar-benar dipraktikkan oleh Yesus ataukah hal tersebut berdasarkan inisiatif mereka sendiri ?
Apa Itu Asketisme ?
    Asketisme merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti latihan atau praktek. Seorang atlet Yunani bisa dikatakan sebagai seorang asket, karena ia melakukan latihan fisiknya secara sistematis. Namun pada perkembangan selanjutnya, istilah tersebut tidak hanya diperuntukkan terhadap fisik, melainkan untuk melatih pula kehendak, pikiran dan jiwa untuk mencapai kehidupan rohani yang lebih tinggi.1 Sedangkan menurut Wellem, istilah asketisme pada mulanya digunakan dalam filsafat Stoa untuk menunjukkan praktik-praktik dalam memerangi kejahatan dan mengejar keadilan.2 Sebenarnya, hampir semua agama dan kebudayaan terdapat ide dan praksis asketis, misalnya, dalam kebudayaan dan agama India dan Persia.3 Menurut Schaff, sistem askese adalah esensi dari Brahmanisme dan Budhisme, yang merupakan dua cabang dari agama India yang dalam banyak hal berhubungan satu dengan yang lainnya.4
    Asketisme Kristen, diyakini berasal dari adanya konflik moral antara roh dan daging. Dan pengendalian daging dilakukan dengan kerendahan hati dan kasih kepada Allah dan manusia. Perjuangan seorang asket Kristen, tidak berorientasi pada pembinasaan tubuh, melainkan pada persekutuan pribadi dengan Kristus,5 meskipun dalam perjalanannya, kita bisa mendapatkan banyak kisah dari orang-orang Kristen yang mengarah pada perusakan fisik. Wellem berpendapat, bahwa penyusun kerangka teoritis pertama asketisme Kristen ialah Clemens dari Aleksandria dan Origenes dari Alesandria.6  Namun menurut Carl Wellman, bahwa dasar asketisme terletak pada teologi Athanasius, Gregorius dari Nyssa, Ambrosius, dan Augustinus.7 Meski terdapat perbedaan terhadap kerangka teoritisnya, namun nyatanya pola hidup asketisme pada dasarnya telah lama dilakukan oleh orang-orang non Kristen, walaupun dalam praksisnya mengalami perbedaan antara satu sama lainnya.
    Ada dua konsep yang berbeda mengenai asketisme. Pertama, disebut moderat. Seorang asket dikatakan moderat dalam melakukan asketismenya, ketika ia melakukan penekanan terhadap suatu keinginan yang lebih rendah, seperti pancaidera, tubuh atau dunia yang dikontraskan dengan melakukan perbuatan kebajikan atau keinginan yang bersifat rohani. Kedua, asketisme ekstrem. Asketisme ini selalu menihilkan semua keinginannya secara totalitas. Namun, tipe yang menonjol dan bertahan lama dalam kehidupan gereja ialah tipe moderat.   

Berbagai Praktek Askese Yang Dilakukan Oleh Kristen  
    Pengasingan diri dari keramaian, atau pengekangan diri pada hal-hal yang bersifat duniawi, dianggap memiliki tujuan yang jelas oleh para penerap gaya hidup asketisme. Antonius yang dianggap sebagai bintang padang gurun dan bapa para biarawan,8 telah menerapkan pola hidup asketismenya secara moderat dengan cara melakukan perenungan dan doa yang dikombinasikan dengan pengabdian dan pelayanan terhadap sesama. Sedangkan Pakhomius, yang hidup sezaman dengan Antonius, telah menerapkan gaya hidupnya seperti melakukan tidur dalam keadaan duduk, pada malam hari menggunakan pakaian dari bahan linen, sedangkan di siang hari menggunakan baju yang bahannya kasar.
    Di Armenia, ada seorang tokoh yang bernama Eustathius Sebaste (tahun 340 M). Ia memiliki gaya kepemimpinan yang keras; memberikan hukuman kepada para pendeta yang melakukan perkawinan, dan mengajarkan untuk tetap berpuasa sekalipun pada hari minggu. Ia mengajarkan agar senantiasa mengabaikan ikatan kekeluargaan, para suami dan istri meski hidup berpisah. Meskipun asketismenya mendapatkan pertentangan dari penguasa gereja, namun tetap saja ia memiliki banyak pengikut yang tidak saja ditemukan di Armenia, melainkan pula di kawasan Pontus dan Paphlagonia.9 Menurut sejarawan yang bernama Evagrius, Ratu Eudocia telah mendirikan suatu biara, yang para biarawan laki-laki didalamnya telah mempertahankan hidupnya dari tumbuh-tumbuhan. Para biarawan tersebut hanya sibuk berdoa siang dan malam, dan selalu berpuasa dua atau tiga hari lamanya. Dan bahkan, beberapa dari mereka memiliki ruangan yang hanya cukup digunakan sebagai tempat berdiri dalam posisi tegak lurus.10
    Periode paling awal tentang asketisme di biara dalam dunia Kristen, sebenarnya tidak hanya dimonopoli oleh pihak laki-laki, melainkan pula dilakukan oleh para wanita. Hidup sendirian, menjadi model yang ideal bagi para wanita di dalam Gereja. Dan cara hidup selibat di dalam dunia Kristen, di mulai oleh para wanita yang kemudian pola selibasi tersebut diikuti oleh kaum laki-laki. Dan menurut mereka, ikatan perkawinan dianggap sebagai suatu penghalang terbesar dalam melakukan sebuah pengabdian kepada Tuhannya. Mereka menganggap, bahwa kehidupan dunia seperti itu menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai derajat yang paling tinggi dalam dunia Kekristenan. Selain itu, mereka pun siap untuk meninggalkan semua permasalahan duniawi, dan melepaskan diri dari ikatan rumah tangga untuk selanjutnya mengasingkan diri, dan merenungkan tentang Tuhan. Terlebih lagi pada negeri yang memiliki undang-undang persamaan hak antara pria dengan wanita, dimana hak-hak seorang istri sama dengan hak-hak suami mereka.11 St. Ambrose yang lahir sekitar tahun 340 M, mengakui bahwa pada saat itu telah banyak dijumpai rumah-rumah biarawati di Alexandria dan juga tempat-tempat di kawasan Timur Tengah. Begitupun dengan Yohanes Chrysostom yang lahir sekitar tahun 344 M, menyebutkan hal yang sama. Seseorang yang dikenal dengan nama Bapa Scete, dikisahkan bahwa ia pernah berpergian di padang pasir, yang dalam perjalanannya ia menemukan seorang perempuan yang masih perawan. Dalam hidupnya, ia mengamalkan konsep asketismenya secara ekstrem di gua selama tiga puluh tahun lamanya, dan untuk mempertahankan hidupnya, ia makan rumput sebagai makanannya.12
    Dengan adanya pembatasan diri terhadap makanan dan juga pakaian, hal tersebut mengakibatkan seorang asket menjadi seorang pengemis ketika ia membaur ditengah masyarakat untuk hidup bersosialisasi. Misalnya Fransiskus dari Asisi, ia menjadi seorang pengemis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga untuk memperbaiki reruntuhan gereja di San Damiano.13 Menurut Fransiskus, tidak ada cara yang lebih tepat untuk menjadi pengikut Yesus Kristus, kecuali menjadi seorang yang hidup dalam kemiskinan.14 Menurut Tony Lane, ide baru Fransiskus untuk menjadi seorang asket ialah adanya posisi sentral yang diberikan kepada kemiskinan. Kemiskinan merupakan tujuan akhir dan bukan sebagai jalan untuk mencapai tujuan lain. Baginya, kemiskinan adalah mempelai Kristus. Idamanya bukan hanya hidup sederhana, melainkan penolakan total terhadap kepemilikan.15 Bukan saja Fransiskus yang menjadi seorang pengemis saat menjadi seorang asketik, Ignatius dari Loyola pun melakukan hal yang sama pula seperti Fransiskus.16

Asketisme Dalam Perspektif Katolik  
    Di saat zaman semakin berkembang dan bertambah modern, populasi manusia pun semakin meningkat, dan kemajuan dalam bidang ekonomi pun sudah tidak bisa terelakkan lagi, akhirnya mendekatkan diri kepada Tuhan dalam bentuk pengasingan pun seolah-olah semakin terpinggirkan, kecuali bagi mereka yang masih tetap tinggal di dalam suatu biara; sebagaimana halnya yang dilakukan oleh orang-orang Katolik, meskipun tidak semua dari mereka melakukannya. Dan hingga saat ini, selibat dan hidup di biara masih dipraktekkan oleh Katolik. Dalam Katolik, selibater mendapatkan tempat yang khusus di dalam gereja, bila dibandingkan dengan seorang laki-laki yang melakukan pernikahan, meskipun keduanya masuk ke dalam hierarki gereja. Penulis mengungkapkan demikian bukan tanpa alasan, karena salah satu syarat untuk menjadi seorang uskup, ia harus menjadi selibater, sedangkan yang menikah, ia tidak pernah bisa menjadi seorang uskup namun dapat ditahbiskan menjadi seorang diaken dan juga imam.17
    Selibater dan hidup membiara, masih diyakini sebagai orang yang memiliki spiritual yang tinggi, demi mendekati Tuhan sedekat-dekatnya, ia rela meninggalkan dunia; tidak menikah; jauh dari kehidupan yang hedonis. Mereka meyakini bahwa hal tersebut sebagai bentuk penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan juga sesama, yang hal itu dianggap telah memancarkan Kerajaan Allah di dunia.18 Pada dasarnya, ajaran selibat tidaklah diajarkan oleh Yesus, melainkan suatu ajaran dari Paulus,19 meskipun dalam kesempatan lain, Katolik menyatakan bahwa status selibat tersebut telah mendapatkan pujian dari Yesus dengan mengutip Matius 19:10-12 sebagai langkah pembenaran yang mereka yakini.20

Asketisme Dalam Perspektif Protestan
    Akibat dari adanya perkembangan zaman yang lebih maju, dan usaha manusia untuk mendapatkan keuntungan dalam memperoleh kehidupan yang layak telah menjadi tujuan umat manusia pada umumnya, hal tersebut mengakibatkan pola asketisme pada pihak Prostestan mengalami perubahahan yang sangat drastis. Dengan melibatkan diri ke dalam berbagai kegiatan ekonomi dengan sistem perhitungan mengejar keuntungan dengan cara penanaman kembali kuntungan yang diperolehnya dalam mendapatkan akumulasi kekayaan.21  Tentang adanya situasi kehidupan ekonomi di masa abad pertengahan dan di awal zaman modern setelah terjadinya reformasi, Tawney mengemukakan, “Bekerja yang lazim dijalankan oleh setiap manusia adalah perlu, tetapi merugikan jiwa,,, kecurigaan akan motif ekonomi adalah salah satu unsur ajaran sosial gereja paling awal dan tetap berlaku sampai Calvinisme mewariskan kehidupan usaha ekonomi dengan penyucian yang baru.”22  Semua kekuasaan di atas dunia dipandang sebagai pemberian Tuhan, dan diyakini bahwa kekuasaan tersebut diserahkan kepada para pemegangnya yang dianggap sebagai tugas suci. Dengan demikian, makna pengejaran keuntungan dalam bidang material berkaitan erat dengan adanya “panggilan” terhadap tugas duniawi. Menurut Weber, konsepsi tentang “panggilan” merupakan istilah yang tidak ditemukan pada Katolik maupun bapa gereja, melainkan baru muncul pada masa reformasi, dan baru populer di lingkungan Prostestan. Arti penting tentang panggilan dalam Protestan, memiliki fungsi bahwa segala urusan yang biasa dalam kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama, yang memiliki nilai bahwa hidup harus sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai dengan kedudukannya di dunia.23
    Bukan karena masalah ekonomi saja yang menyebabkan pola asketisme mengalami pergeseran, suasana sosial politik pun ikut andil pula dalam mendorong adanya perubahan tersebut. Golongan Protestan di dalam gereja Inggris berkembang ke arah penyingkiran segala sesuatu yang berhubungan dengan Katolik. Golongan ini, yang disebut sebagai Puritanis, berusaha menjauhkan diri dari segala bentuk kemewahan dan kesenangan duniawi, mereka suka memeriksa hati dan kelakukan di hadapan Tuhan. Di samping adanya golongan Puritan, terdapat juga kelompok independen yang teologinya Calvinis, namun pandangannya independen; bebas dari negara, bebas dari uskup, bebas dari badan gereja. Dengan adanya sikap moderat dari gereja Anglikan tersebut, pada akhirnya gereja mengalami kemerosotan. Gereja yang tidak memiliki semangat iman ini berdampak pula pada kehidupan rohani masyarakatnya, iman pribadi mengalami kemerosotan, segala sesuatu diperbolehkan. Dalam memberikan gambaran di masa itu, Uskup Berkeley menegaskan bahwa moralitas dan agama di Inggris mengalami kemerosotan ke tempat yang terendah, yang sebelumnya tidak pernah dikenal di negeri-negeri Kristen mana pun.24
    Puritan, merupakan kelompok Calvinis yang menekankan kekudusan individual, memiliki dasar teologi yang sangat berbeda dengan Armenian. Menurut Armenian, bahwa perbuatan baik diperlukan untuk mendapatkan keselamatan, sedangkan Puritan berkeyakinan bahwa perbuatan baik bukan untuk memperoleh keselamatan, melainkan sebagai tanda keterpilihan mereka dan sebagai respons manusia terhadap anugerah Allah. Perselisihan teologis keduanya terus mengalami perkembangan dan mengakibatkan bertambahnya pula kemerosotan moral gereja.25
Kesimpulan
    Sebenarnya, tidak ada 1 ayat pun di dalam Perjanjian Baru (PB) yang secara eksplisit menginformasikan bahwa Yesus memberikan perintah ataupun menganjurkan untuk menjadi seorang asket. Pengaruh helenisme dan agama-agama lainlah, yang memiliki pengaruh besar kepada pihak Kristen untuk melakukan hal tersebut, yang pada akhirnya dikembangkan model-model asketisnya oleh para pelaku asketis. Ketika pengamalan dalam suatu ibadah tidak didasari oleh adanya suatu perintah, tentunya hal tersebut akan mengakibatkan para pelakunya bertindak sewenang-wenang terhadap orang yang berbeda prinsip dengannya. Misalnya, sikap Fransiskus yang memiliki prinsip untuk hidup dalam kemiskinan, telah mengutuk pemimpin biara di Bologna yang bernama Yoannes Sutasia, dikarenakan ia membangun rumah biara dengan mewah dan mengajarkan filsafat dan teologi di biaranya.26 Tidak hanya itu, Ignatius pun pernah memecat muridnya yang bernama Simon Rodriguez, dikarenakan Simon membuat peraturan yang keras dalam melakukan asketisme ekstremnya, padahal orang-orang sebelum Ignatius pun pernah melakukan hal yang sama seperti halnya Simon.27
    Dampak lain dari adanya suatu ibadah tanpa adanya tuntunan, tentunya akan melahirkan pula berbagai kelompok yang saling mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan dalam mendekati Tuhannya, merupakan cara yang tepat dan benar. Misalnya, kelompok Puritan dengan Armenian. Lalu kelompok Benediktin dan Sistersian, yang hidup memisahkan diri dari keramaian dengan cara tinggal di biara, namun berbeda prinsip  dengan kelompok Fransiskan, Dominikan, dan Carmelitis, yang hidupnya di biara namun selalu keluar memberitakan Injil dan hidup dalam kemiskinan, bahkan semua kelompok tersebut berbeda pula saat dibandingkan dengan Ignatius, yang memadukan kontemplasi dengan aksi, doa dengan perbuatan.28

Catatan Kaki :
  1. The Encyclopedia of Religion, Vol. 1.
  2. F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja.
  3. Encyclopedia of Religion and Ethnics, Vol. II.
  4. Philip Schaff, History of the Christian Church, Vol. III
  5. Ibid.
  6. F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja.
  7. Eddy Kristiyanto, Sahabat-Sahabat Tuhan, Asal-Usul Dan Perkembangan Awal Tarekat Hidup Bakti.
  8. Iris Habib el Masri, The Story of the Copts, The True Story of Christianity in Egypt.
  9. L. Pullan, The Church of the Fathers.
  10. Evagrius Ponticus, Writings.
  11. J. Amelineau, Les Moines Egyptiens.
  12. Palladius, Paradise of the Fathers.
  13. Ivan Gobry, Fransiskus dari Asisi.
  14. Leo Ladjar (pen), Fransiskus Assisi Karya-karyanya.
  15. Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani.
  16. Untuk mengetahui riwayat hidup Ignatius, silahkan untuk menelusuri tiga karya dari : Karl Rahner dan Paul Imhof (Ignatius of Loyola), Rene Fulop-Miller (The Power and Secret of The Jesuits), dan A.M. Mangunhardjana (Sejarah Ordo Serikat Yesus Selayang Pandang).
  17. http://www.ekaristi.org/kat/index.php?q=1580-1580 di akses pada hari selasa, tanggal 24 April 2018.
  18. http://www.ekaristi.org/kat/index.php?q=1579-1579 di akses pada hari selasa, tanggal 24 April 2018.
  19.  www.katolisitas.org/menikah-atau-selibat-1-kor-7-1-40/  diakses pada hari selasa, tanggal 24 April 2018.
  20. Frank Chacon dan Jim Burnham, Pembelaan Iman Katolik 4 – Menanggapi Serangan Tentang Iman Katolik.
  21. Wallace K. Fergusson, The Rennaisance.
  22. RH. Tawney, Religion and the Rise of Capitalism.
  23. Max Weber, The Protestan Etnic and the Spirit of Capitalism.
  24. Richard P. Heitzenrater, Wesley and the People Called Methodist.
  25. Ibid.
  26. Ivan Gobry, Fransiskus dari Asisi.
  27. Rene Fullop–Miller, The Power and Secret of The Jesuits.
  28. Barbara Bedolla dan Dominic Totaro, Ignatian Spirituality, dalam Robin Maas dan Gabriel O’Donnell, Spiritual Traditions for the Contemporary Church.

Comments